Perbincangan mengenai gender dan politik biasanya mengarah kepada soal keterwakilan perempuan di pemerintahan, baik legislatif ataupun eksekutif. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa masih banyak perempuan yang susah mendapatkan akses untuk mengisi ruang-ruang publik dan hal ini berimplikasi pada diskriminasi tehadap perempunan.
Namun dalam tulisan ini akan mencoba membahas keterkaitan antara keterwakilan perempuan dengan korupsi di Indonesia. Tulisan ini berangkat dari sebuah pertanyaan apakah keterwakilan perempuan di ruang-ruang publik dapat mengurangi tingkat korupsi di Indonesia? mengingat di Indonesia sendiri, keterwakilan perempuan di parlemen rendah dan tingkat korupsinya terbilang tinggi.
mengenai apakah tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi dapat mengurangi tingkat korupsi terdapat beberapa yang membenarkan. Pertama, pandangan feminisme ekologis, feminisme ekologis perpandangan bahwa perempuan lebih memiliki sifat merawat dan memelihara. Perempuan yang memiliki fungsi reproduksi cenderung meiliki sifa tersebut Karena secara alamiah perempuan harus merawat membesarkan dan mendidikan anak. Sifat tersebu tidak kompatibel dengan korupsi. Maka dari pandangan ini dapat dikatakan bahwa perempuan tidak memiliki kecenderungan untuk melakukan korupsi.
Kedua, terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa perempuan cenderung untuk tidak memikirkan sendiri dan lebih memiliki standar moral dan etika yang lebih tiggi dibanding laki-laki, berangkat dari pandangan ini, apabila perempuan mengisi jabatan-jabatan publik akan mengurangi korupsi karena memiliki standar moral dan etika yang tinggi, dan ini berimplikasi pada tingkat korupsi seara umum akan rendah. Ini dibuktikan dengan negara-negara yang tingkat keterwakilan perempuanya tinggi dalam politik ternyata tingkat korupsinya rendah. sebaliknya, negara yang keterwakilan perempuanya rendah menunjukan tingkat korupsinya tinggi.