Lembaga Sosial Rumah Indonesia
Lembaga Sosial Rumah Indonesia

Lembaga Sosial Rumah Indonesia

Hubungi Kami

Sepak Bola, Perang, dan DNA Konflik Manusia

Sepak Bola, Perang, dan DNA Konflik Manusia

Manusia adalah bagian dari kingdom animalia. Secara biologis, kita tidak jauh berbeda dari hewan lain: masih punya insting mempertahankan wilayah, dorongan berkompetisi, bahkan kecenderungan agresi. Bedanya, manusia mengalami revolusi kognitif yang memungkinkan kita membangun bahasa, simbol, dan peradaban. Namun, insting “rimba” itu tidak pernah benar-benar hilang. Sejarah membuktikan: dari era agraris sampai revolusi industri 4.0, hidup manusia selalu diwarnai oleh perang.

Menariknya, kita juga makhluk yang kreatif mencari cara untuk menyalurkan energi konflik. Sepak bola adalah salah satu bentuk paling nyata. Pertandingan sepak bola sering dipandang sebagai “perang simbolis” yang dikemas dalam aturan. Ada dua pasukan, ada bendera dan identitas, ada medan laga, ada sorak-sorai pendukung, dan ada kemenangan serta kekalahan. Bedanya dengan perang sungguhan, tidak ada korban jiwa massal—yang terluka hanya harga diri dan emosi. Inilah fungsi sosial sepak bola: kanal aman bagi insting primitif yang diwariskan dari nenek moyang.

Kalau ditarik lebih jauh, olahraga sebenarnya berada di spektrum “perang–damai”. Di ujung yang keras, ada tinju dan MMA yang masih penuh benturan fisik. Di tengah, ada sepak bola: keras tapi teratur, fisik tapi juga strategis. Di ujung lain, ada catur dan senam, yang lebih mengandalkan otak dan estetika. Bahkan dalam sepak bola sendiri, ada perbedaan gaya: Eropa kini semakin taktis dan halus, sementara di Asia masih banyak mengandalkan lari, stamina, dan duel. Perbedaan itu mencerminkan sejarah, infrastruktur pembinaan, ekonomi liga, sampai nilai budaya yang berbeda antara Barat dan Timur.

Lalu muncul pertanyaan mendasar: kenapa perang seolah melekat dalam DNA kehidupan di bumi? Jawaban paling sederhana: karena keterbatasan. Sumber daya selalu terbatas, dan semua makhluk hidup—manusia maupun hewan—berebut untuk bertahan hidup. Dalam logika teori permainan, selalu ada ketakutan dikhianati. Jika aku memilih damai tapi lawan memilih menyerang, aku habis. Itulah yang membuat perang selalu muncul sebagai pilihan rasional, meski mahal biayanya.

Namun di sinilah kecerdikan manusia. Kita belajar menciptakan substitusi: perdagangan menggantikan perampasan, diplomasi menggantikan invasi, dan olahraga menggantikan peperangan. Kini bahkan teknologi, AI, dan dunia digital menciptakan kanal baru untuk kompetisi—dari e-sports hingga eksplorasi luar angkasa. Tugas manusia bukan menghapus perang, karena itu mustahil, melainkan mengelola konflik agar tidak menjadi kehancuran.

Singkatnya, perang memang bagian dari DNA kehidupan. Tetapi manusia sedang belajar mengubah DNA konflik itu menjadi DNA inovasi. Sepak bola hanyalah salah satu cermin betapa kita bisa menyalurkan energi primitif ke dalam arena yang lebih aman, lebih bermakna, dan—siapa tahu—lebih indah untuk ditonton bersama.