Lembaga Sosial Rumah Indonesia
Lembaga Sosial Rumah Indonesia

Lembaga Sosial Rumah Indonesia

Hubungi Kami

Hak Politik Pendamping Desa: Bukan ASN, Bukan Pegawai yang Harus Mundur

Hak Politik Pendamping Desa: Bukan ASN, Bukan Pegawai yang Harus Mundur

Kementerian Desa

Belakangan ini, polemik mengenai pendamping desa yang berafiliasi dengan partai politik dan maju sebagai calon legislatif dalam pemilu mencuat ke permukaan. Masyarakat dibuat bertanya-tanya, apakah pendamping desa boleh terjun ke politik praktis? Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa peran pendamping desa akan terganggu oleh aktivitas politik. Di sisi lain, banyak yang menegaskan bahwa secara hukum pendamping desa tidak termasuk kategori aparatur pemerintah yang dilarang mencalonkan diri dalam pemilu. Kebingungan ini mencerminkan pentingnya kepastian hukum dalam mengatur hak politik pendamping desa.
Pendamping desa sendiri adalah tenaga pendukung profesional yang direkrut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) untuk membantu pemerintah desa dalam melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Mereka bukan perangkat desa atau pegawai negeri sipil (PNS), melainkan pekerja kontrak yang ditempatkan untuk mendampingi desa. Pendamping desa digaji melalui anggaran negara (APBN), namun status hubungan kerjanya berbeda dari pegawai pemerintah tetap. Hal ini berarti pendamping desa tidak tunduk pada aturan kepegawaian pemerintah layaknya ASN, sehingga muncul pertanyaan apakah mereka terikat pada kewajiban netralitas politik yang sama.
Dalam aturan pemilu di Indonesia, memang dikenal ketentuan bahwa sejumlah pejabat dan pegawai negara harus melepaskan jabatannya jika maju sebagai calon legislatif. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, misalnya, mengharuskan kepala daerah, aparatur sipil negara (ASN), anggota TNI/Polri, direksi BUMN/BUMD, dan karyawan badan lain yang dibiayai keuangan negara untuk mundur dari jabatannya saat mencalonkan diri. Ketentuan ini dibuat demi mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang selama kontestasi politik. Namun, perlu dicatat bahwa pendamping desa tidak disebut secara spesifik dalam daftar tersebut. Status "karyawan pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara" pun masih abu-abu jika diterapkan pada pendamping desa, mengingat mereka bukan pegawai tetap suatu badan, melainkan tenaga kontrak program pemerintah.
Sebagai pekerja kontrak yang diangkat melalui mekanisme pengadaan jasa, pendamping desa berada di bawah kerangka hukum ketenagakerjaan umum. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi rujukan utama yang mengatur hak dan kewajiban pekerja di luar skema ASN. UU Ketenagakerjaan menjamin bahwa setiap tenaga kerja memiliki hak dasar serta kesempatan yang sama tanpa diskriminasi atas dasar apapun. Bahkan, Pasal 6 UU Ketenagakerjaan menegaskan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Artinya, dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, pendamping desa semestinya mendapatkan perlakuan yang adil dan tidak boleh diperlakukan berbeda hanya karena pilihan politik atau niat mencalonkan diri.
Sampai saat ini, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit melarang pendamping desa untuk berpolitik atau mencalonkan diri dalam pemilu. Pendamping desa bukanlah ASN yang diikat oleh kewajiban netralitas politik sesuai UU Aparatur Sipil Negara, dan mereka juga bukan perangkat pemerintah desa yang tunduk pada aturan pemilihan kepala desa. Dengan demikian, secara hukum positif, hak politik pendamping desa seyogianya sama dengan warga negara lainnya. Mereka berhak menjadi anggota partai politik, berkampanye, hingga maju sebagai caleg sepanjang tidak ada aturan hukum yang melarangnya.
Kementerian Desa PDTT sendiri pernah mengeluarkan kebijakan yang memperjelas status pendamping desa dalam kontestasi politik. Pada Juni 2023, Kemendesa menerbitkan surat Nomor 1261/HKM.10/VI/2023 yang ditujukan kepada KPU RI sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai posisi pendamping desa yang mencalonkan diri. Inti surat tersebut menegaskan bahwa tenaga pendamping profesional tidak berstatus sebagai pegawai atau karyawan sebagaimana dimaksud dalam aturan pemilu, karena rekrutmen pendamping desa dilakukan melalui mekanisme pengadaan jasa. Dengan kata lain, Kemendesa memandang pendamping desa bukanlah bagian dari struktur kelembagaan pemerintah yang terkena kewajiban mundur. Surat itu juga secara tegas menyatakan tidak ada aturan di tingkat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, maupun Keputusan Menteri yang melarang pendamping desa menjadi anggota partai politik ataupun mewajibkan mereka mundur apabila mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Kebijakan ini memberikan sinyal terang bahwa secara hukum, pendamping desa diperbolehkan berpolitik.
Keluarnya surat Kemendesa PDTT tahun 2023 tersebut sempat memberikan kepastian hukum bagi para pendamping desa. Mereka tidak lagi perlu was-was bahwa keikutsertaan dalam politik akan otomatis mengakhiri karier mereka sebagai pendamping. Banyak pendamping desa akhirnya berani maju mencalonkan diri sebagai caleg dalam Pemilu 2024 dengan berpegang pada surat edaran itu. Pada Pemilu 2024, memang terdapat beberapa pendamping desa yang masuk dalam daftar calon legislatif dan tetap melanjutkan tugas pendampingannya. Dukungan regulasi Kemendesa pada saat itu seolah menjamin bahwa hak politik pendamping desa dilindungi dan diakui.
Akan tetapi, pasca Pemilu 2024, arah kebijakan Kemendesa PDTT tampak berubah dan menimbulkan tanda tanya baru. Menjelang pembukaan rekrutmen pendamping desa periode berikutnya, Menteri Desa PDTT Yandri Susanto menegaskan bahwa pihak yang terafiliasi partai politik dan hendak nyaleg dilarang mengikuti rekrutmen pendamping desa. Ia beralasan pendamping desa digaji dari APBN, sehingga bila ingin maju sebagai caleg seharusnya mundur terlebih dahulu. Bahkan Yandri menyatakan jika hal itu tidak dipatuhi, pendamping bersangkutan bisa diminta mengembalikan gaji yang telah diterima dan hal tersebut dapat berimplikasi hukum.
Pandangan serupa diungkapkan pula oleh jajaran Kemendesa lainnya. Kepala BPSDM Kemendesa pada awal 2025 turut menyampaikan bahwa pendamping desa harus mengundurkan diri apabila ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Ia merujuk pada Pasal 240 UU Pemilu 2017 yang mengharuskan pengunduran diri dari jabatan bagi "karyawan pada badan yang anggarannya bersumber dari keuangan negara", dan menafsirkan pendamping desa termasuk kategori tersebut. Sikap ini jelas berbeda dengan kebijakan Kemendesa tahun 2023, sehingga memunculkan kerancuan di kalangan pendamping desa mengenai apa yang sebenarnya berlaku.
Perbedaan sikap dalam rentang waktu yang singkat ini jelas menciptakan kebingungan di kalangan pendamping desa. Di satu pihak, ada surat resmi kementerian tahun 2023 yang menyatakan pendamping desa boleh berpolitik tanpa perlu mundur; di pihak lain, muncul pernyataan terbaru yang mengharuskan mereka mundur jika ingin berpolitik. Ketidakselarasan ini mencederai asas kepastian hukum. Prinsip kepastian hukum menghendaki agar aturan dibuat tegas dan konsisten, sehingga subjek hukum – dalam hal ini pendamping desa – dapat mengetahui dengan jelas apa saja hak dan kewajibannya. Apabila kebijakan berubah-ubah tanpa dasar hukum yang kokoh, para pendamping desa menjadi ragu dalam bersikap: apakah mereka aman secara hukum untuk berpolitik, ataukah terancam sanksi bila melakukannya?
Dari perspektif hukum, kondisi tarik-ulur ini perlu dikritisi. Jika memang pendamping desa dianggap masuk kategori “karyawan badan yang dibiayai negara” menurut UU Pemilu, seharusnya sejak awal aturan tersebut diterapkan secara konsisten. Kenyataannya, Kemendesa di tahun 2023 justru menafsirkan lain dengan alasan status kontrak pendamping desa. Perubahan haluan kebijakan tanpa perubahan regulasi yang mendasarinya menimbulkan kesan ketidakpastian dan inkonsistensi penegakan hukum. Apalagi, sejauh ini belum ada revisi UU Pemilu ataupun peraturan baru setingkat undang-undang yang khusus memasukkan pendamping desa sebagai pihak yang wajib mundur saat nyaleg. Jika hanya melalui edaran internal atau imbauan sepihak, kekuatan hukumnya tentu lebih lemah dibanding aturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, patut dipertanyakan apakah kebijakan yang melarang pendamping desa terjun ke politik praktis justru bertentangan dengan semangat UU Ketenagakerjaan dan hak asasi politik warga negara. Sebagai pekerja kontrak, pendamping desa memiliki hubungan kerja dengan pemerintah yang seharusnya tunduk pada norma-norma ketenagakerjaan, termasuk prinsip non-diskriminasi. Memecat atau menolak merekrut seseorang semata-mata karena ia berafiliasi politik atau ingin nyaleg bisa dianggap sebagai bentuk perlakuan diskriminatif berbasis pandangan politik. Hal ini tentu harus diuji lebih lanjut secara hukum, namun asas kesetaraan dalam UU Ketenagakerjaan mengingatkan kita agar kebijakan ketenagakerjaan tidak mendiskriminasi pekerja. Kecuali ada landasan hukum khusus yang mengecualikan (misalnya status ASN yang diatur UU tersendiri), hak politik pendamping desa semestinya dihormati dan dilindungi.
Tentu, kita memahami alasan di balik keinginan menjaga netralitas pendamping desa. Idealnya, pendamping desa fokus pada tugas pendampingan dan tidak terlibat politik praktis agar tidak memihak dan tetap profesional. Namun, jika pemerintah menganggap netralitas ini harga mati, solusinya perlu diformalkan dalam kerangka hukum yang jelas. Misalnya, bisa saja dipertimbangkan mengubah skema pendamping desa menjadi bagian dari ASN atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) sehingga aturan netralitas ASN otomatis berlaku. Opsi lain, Kementerian dapat menerbitkan peraturan tersendiri yang mewajibkan pendamping mundur saat maju pemilu, dengan konsekuensi hukum yang tegas. Langkah-langkah ini memerlukan kajian mendalam dan dasar hukum yang kuat agar tidak melanggar hak konstitusional, sekaligus tetap menjamin profesionalitas pendamping dalam menjalankan tugasnya.
Pada akhirnya, polemik ini harus disudahi dengan memberikan kepastian hukum bagi pendamping desa terkait hak politik mereka. Pemerintah dan pembuat undang-undang perlu menyelaraskan kebijakan Kemendesa dengan regulasi yang berlaku agar tidak terjadi multitafsir. Jika pendamping desa memang tidak tergolong pegawai pemerintah yang dilarang nyaleg, maka hal itu perlu ditegaskan secara resmi supaya tidak ada lagi interpretasi berbeda di lapangan. Sebaliknya, bila dianggap perlu ada pembatasan demi kepentingan umum, maka aturannya harus dibuat secara tegas, tertulis, dan disosialisasikan sejak awal masa kontrak pendamping. Prinsip kepastian hukum mengamanatkan bahwa aturan harus jelas dan diterapkan konsisten, bukan berubah-ubah mengikuti selera kebijakan pimpinan.
Sebagai kesimpulan, pendamping desa adalah tenaga profesional berbasis kontrak yang secara hukum bukan bagian dari kategori aparatur yang wajib mundur saat pemilu. UU Ketenagakerjaan sebagai payung hukum hubungan kerja mereka tidak mengenal larangan berpolitik bagi pekerja biasa. Oleh karena itu, hak politik pendamping desa seharusnya dihormati layaknya hak politik warga negara lainnya. Pemerintah perlu memberikan kepastian hukum melalui regulasi yang jelas agar pendamping desa tidak terombang-ambing antara tugas mendampingi desa dan keinginan berpolitik. Dengan jaminan kepastian hukum, pendamping desa dapat menyalurkan hak politiknya tanpa takut kehilangan mata pencaharian, sementara integritas program pendampingan desa tetap terjaga melalui mekanisme pengawasan yang adil. Kejelasan hukum inilah yang akan melindungi hak politik pendamping desa sekaligus memastikan profesionalitas dan keberlanjutan program pemberdayaan desa di masa mendatang.
Sumber Referensi:
1.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
3.    Surat Kemendesa PDTT Nomor 1261/HKM.10/VI/2023
4.    Berita "Ribuan Pendamping Desa Resah dengan Kebijakan Kemendesa PDT", KabarDaily.com, 25 Februari 2025
5.    Pernyataan Menteri Desa PDTT Yandri Susanto dalam wawancara media nasional, Januari 2025